Senin, 12 Maret 2012

Integrasi Kebijakan Transportasi dan Tata Ruang Kota Jakarta


·        Transportasi
Integrasi Kebijakan Transportasi
firdaus's picture
Submitted by firdaus on Thu, 14/05/2009 - 11:55
Versi printer-friendly
http://www.satuportal.net/?q=system/files/galeri/kemacetan-lalu-lintas_jakarta.jpgKemacetan lalu lintas di kota Jakarta semakin hari semakin sulit diurai. Kemacetan lalu lintas itu selain mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) juga menambah polusi udara di kota ini. Berbagai kebijakan transportasi pun telah dibuat, seperti Three in One, busway dan pembangunan jalan layang. Namun berbagai kebijakan itu belum mampu secara maksimal mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Kebijakan transportasi baru yang tengah digagas oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bidang transportasi  salah satunya adalah electronic road pricing (ERP) atau pajak jalan raya. Kebijakan ini ditujukan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas dan polusi udara di Jakarta.
Pada prinsipnya, ERP adalah upaya mengatur aliran kendaraan dan kemacetan melalui mekanisme penarifan. Proyek ini nantinya akan mengacu pada pelaksanaan ERP di Singapura yang diterapkan sejak 1998, menggantikan area licensing scheme (ALS). Di negeri itu, ERP dibedakan sesuai dengan waktu, zona berkendaraan, dan jenis kendaraan. Dana yang diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut digunakan untuk mengembangkan transportasi publik (Infrastructure Watch, 2005).
Melihat sudah begitu banyaknya kebijakan yang dikeluarkan untuk mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta, timbul pertanyaan, akankah proyek ERP berakhir dengan kegagalan seperti yang sebelumnya?
Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas proyek ERP ini. Pertama, pemilihan suatu kawasan untuk penerapan proyek ini harus berdasarkan parameter jumlah volume lalu lintas di daerah tersebut. Semakin tinggi jumlah volume kendaraan di suatu kawasan, akan menjadi prioritas utama penerapan proyek ini. Dengan parameter tersebut, diharapkan proyek ini mampu menurunkan secara signifikan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Hasil penelitian Clean Air Project (CAP) Swisscontact pada 2005 mengenai volume kendaraan dan polusi udara justru menyebutkan pada saat jam kerja, volume kendaraan di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, paling tinggi dibanding di kawasan lainnya, termasuk Jalan Thamrin (jalur Blok M-Kota). Penelitian itu juga menyebutkan bahwa pada hari libur, volume lalu lintas di Jalan Kyai Tapa tetap lebih tinggi dibandingkan dengan hari kerja. Jika Pemprov DKI Jakarta hendak menerapkan kebijakan ERP maka, pemberlakuan kebijakannya harus tepat di jalur yang padat lalu lintas.
Kedua, proyek ERP ini harus didahului atau minimal diikuti dengan upaya pembenahan tata ruang Kota Jakarta secara menyeluruh. Penyebab utama kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah makin jauhnya permukiman penduduk dari pusat-pusat kegiatan, terutama tempat-tempat bekerja.
Peningkatan aktivitas ekonomi di Jakarta mengakibatkan harga tanah melambung tinggi sehingga tidak terjangkau oleh warga kebanyakan. Kebanyakan warga hanya dapat membeli rumah yang letaknya di pinggir kota, dan untuk aktivitas sehari-hari, mereka memilih menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Hal itu jelas terkait dengan kebijakan tata ruang kota, bukan semata-mata masalah transportasi.
Keberhasilan penerapan proyek ERP di Singapura tidak bisa dicontek habis karena kondisi geografis, sosial, anatomi kemacetan lalu lintas, dan tata ruang Kota Singapura berbeda dengan Jakarta. Berbeda dengan Singapura, di Jakarta, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, yang terutama harus dilakukan adalah membenahi tata ruang kota. Besarnya daya tarik Jakarta menjadi faktor utama yang membangkitkan lalu lintas di kota ini. Harus ada intervensi dalam kebijakan tata ruang Kota Jakarta untuk membagi daya tarik kota tersebut dengan daerah lainnya.
Kota ini harus secara sukarela dan bertahap merelokasi kawasan-kawasan komersial yang padat kendaraan ke luar Jakarta. Pembangunan hypermarket serta mal-mal perlu dibatasi agar tidak memadati Jakarta dan diusahakan penyebarannya ke luar kota. Bahkan Washington, DC, sebagai pusat pemerintah Amerika Serikat dan Paris sebagai pusat pemerintah Prancis mengharuskan mal-mal dibangun di luar kota. Kebijakan itu didasarkan pada kenyataan bahwa pengunjung mal-mal adalah konsumen yang berkendaraan pribadi.
Dengan mengayunkan langkah menyebarkan daya tarik pembangunan lebih adil dan lebih luas dalam membangun kawasan–ditopang oleh sistem angkutan yang bersifat komprehensif mencakup berbagai moda darat, sungai, laut, dan udara dengan mengacu pada perencanaan tata ruang yang memperhitungkan pola pembangunan berkelanjutan dengan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi–kebijakan transportasi baru bisa dipastikan akan berjalan efektif.







·       pariwisata

Artikel Pariwisata: Peran Pemerintah dalam Pariwista

Oleh I Nengah Subadra
Sebagai industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari peran serta pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan peraturan (regulation). Berikut ini adalah penjelasan mengenai peran-peran pemerintah dalam bidang pariwisata tersebut di atas:
a.PerencanaanPariwisata
Pariwisata merupakan industri yang memiliki kriteria-kriteria khusus, mengakibatkan dampak positif dan negatif. Untuk memenuhi kriteria khusus tersebut, memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata diperlukan perencanaan pariwisata yang matang. Kesalahan dalam perencanaan akan mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan dan konflik kepentingan di antara para stakeholders. Masing-masing daerah tujuan wisata memiliki permasalahan yang berbeda dan memerlukan jalan keluar yang berbeda pula.
Dalam pariwisata, perencanaan bertujuan untuk mencapai cita-cita atau tujuan pengembangan pariwisata. Secara garis besar perencanaan pariwisata mencakup beberapa hal penting yaitu: (1) perencanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan berbagai jenis industri yang berkaitan dengan pariwisata, (2) perencanaan penggunaan lahan, (3) perencanaan infrastruktur yang berhubungan dengan jalan, bandar udara, dan keperluan lainnya seperti; listrik, air, pembuangan sampah dan lain-lain, (4) perencanaan pelayanan sosial yang berhubungan dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesejastraan sosial, dan (5) perencanaan keamanan yang mencakup keamanan internal untuk daerah tujuan wisata dan para wisatawan.
b.PembangunanPariwisata
Pembagunan pariwisata umumnya dilakukan oleh sektor swasta terutama pembangunan fasilitas dan jasa pariwisata. Namun, pengadaaan infrastruktur umum seperti jalan, listrik dan air yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata terutama untuk proyek-proyek yang berskala besar yang memerlukan dana yang sangat besar seperti pembangunan bandar udara, jalan untuk transportasi darat, proyek penyediaan air bersih, dan proyek pembuangan limbah merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu, pemerintah juga beperan sebagai penjamin dan pengawas para investor yang menanamkan modalnya dalam bidang pembangunan pariwisata.
c.KebijakanPariwisata
Kebijakan merupakan perencanaan jangka panjang yang mencakup tujuan pembangunan pariwisata dan cara atau prosedur pencapaian tujuan tersebut yang dibuat dalam pernyataan-pernyataan formal seperti hukum dan dokumen-dokumen resmi lainya. Kebijakan yang dibuat permerintah harus sepenuhnya dijadikan panduan dan ditaati oleh para stakeholders. Kebijakan-kebijakan yang harus dibuat dalam pariwisata adalah kebijakan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan hubungan politik terutama politik luar negeri bagi daerah tujuan wisata yang mengandalkan wisatawan manca negara.
Umumnya kebijakan pariwisata dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi secara keseluruhan yang kebijakannya mencakup struktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang harus dibuat sehubungan dengan pembangunan pariwisata adalah kebijakan mengenai ketenagakerjaan, penanaman modal dan keuangan, industri-industri penting untuk mendukung kegiatan pariwisata, dan perdagangan barang dan jasa.
d.Peraturan Pariwisata
Peraturan pemerintah memiliki peran yang sangat penting terutama dalam melindungi wisatawan dan memperkaya atau mempertinggi pengalaman perjalanannya. Peraturan-peraturan penting yang harus dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah: (1) peraturan perlindungan wisatawan terutama bagi biro perjalanan wisata yang mengharuskan wisatawan untuk membayar uang muka (deposit payment) sebagai jaminan pemesanan jasa seperti akomodasi, tour dan lain-lain; (2) peraturan keamanan kebakaran yang mencakup pengaturan mengenai jumlah minimal lampu yang ada di masing-masing lantai hotel dan alat-alat pendukung keselamatan lainnya; (3) peraturan keamanan makan dan kesehatan yang mengatur mengenai standar kesehatan makanan yang disuguhkan kepada wisatawan; (4) peraturan standar kompetensi pekerja-pekerja yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus seperti seperti pilot, sopir, dan nahkoda.
Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam seperti; flora dan fauna yang langka, air, tanah dan udara agar tidak terjadi pencemaran yang dapat mengganggu bahkan merusak suatu ekosistem. Oleh karena itu, penerapan semua peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku mutlak dilaksanakan oleh pemerintaah.

·         Tata kota
·         Kebijakan Pemda Pajak Progresif Dimulai 2011

Ditulis oleh Koran Jakarta   
Tuesday, 07 September 2010
JAKARTA-Terhitung 1 Januari 2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan pajak progresif kendaraan bermotor bagi pemilik kendaraan pribadi dan badan hukum.
Tarif yang dibebankan untuk pajak tersebut maksimal sebesar empat persen. Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi, Senin (6/9) menjelaskan besaran pajak itu adalah 1,5 persen untuk kendaraan pribadi pertama, 1,75 persen untuk kendaraan pribadi kedua, 2,5 persen untuk kendaraan pribadi ketiga, dan 4 persen untuk kendaraan pribadi keempat.

Angka tersebut, menurut Iwan, jauh lebih kecil dari aturan pajak progresif yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 28/ 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 10 persen.

Kebijakan ini menjadi salah satu instrumen untuk membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Karenanya, itu diwujudkan dengan beban tarif pajak yang tinggi,” ujarnya.

Iwan berharap jika sudah diterapkan nanti, masyarakat yang bermaksud membeli kendaraan pribadi baru akan berpikir ulang karena nantinya harus membayar beban pajak yang tinggi.

Kemudian, kalau kesadaran warga sudah tumbuh, diharapkan kemacetan lalu lintas sedikit demi sedikit bisa dipecahkan karena pertumbuhan kendaraan pribadi bisa diatasi.

Lebih detail Iwan menjelaskan penetapan persentase tarif pajak progresif dilakukan salah satunya dengan melihat kemampuan ekonomi warga dan juga pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta secara keseluruhan.

Dasar pijakan untuk menentukan persentase itu, di antaranya bersandar pada UU No 28 Tahun 2009. Dari situ, kemudian diputuskan persentase pajak tarifnya menjadi lebih kecil.

Sementara itu, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arief Susilo mengatakan secara teknis pihaknya sudah menyampaikan besaran potensi pajak progresif yang bisa dihasilkan ke DPRD DKI Jakarta.

Dan yang membahagiakan, kata dia, besaran persentase tersebut kemudian disepakati oleh Dewan. Jadi, sekarang itu kami sedang menunggu pengesahan saja, tutur dia.

Data yang dimiliki Komisi Kepolisian Indonesia sudah mencatat kalau jumlah penduduk DKI per Maret 2009 mencapai 8,5 juta jiwa.

Dari jumlah tersebut, yang terdaftar memiliki kendaraan bermotor pribadi hingga Juni 2009 berjumlah 9,99 juta kendaraan. Dari data tersebut, maka bisa disimpulkan bahw setiap keluarga memiliki kendaran bermotor pribadi sedikitnya 3 unit. ucm


·         ekonomi
Kebijakan Persaingan dalam Industri Taxi di Indonesia
Oleh: Noor Aisyah Amini*
Sektor perhubungan adalah sebuah sektor yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ekonomi sebuah negara. Melalui sektor perhubungan maka ekonomi bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu. Sistem perhubungan (transportasi) yang baik akan mendorong tumbuhnya  ekonomi yang efisien dan berdaya saing. Sebaliknya sistem perhubungan yang buruk dari sebuah negara juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi di negara tersebut.
Taksi dan angkutan kota merupakan dua jenis angkutan darat di Indonesia, yang perannya sangat melekat erat dalam keseharian masyarakat perkotaan. Pada tahun 2007 saja, jumlah taksi dari 44 perusahaan yang beroperasi di Jakarta mencapai 16.045 unit.  Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya taksi baru yang melayani masyarakat DKI Jakarta saat ini.
Terkait dengan industri taksi di DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, pengaturan mengenai tarif taksi menjadi isu yang menarik. Seiring dengan kenaikan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif taksi sejak tahun 2005 mengalami perkembangan yang menarik yaitu lahirnya tarif taksi lama. Tarif taksi lama adalah tarif taksi yang lebih rendah dibanding tarif taksi normal yang ditetapkan Pemerintah. Penerapan tarif taksi lama oleh sebagian operator taksi, rupanya cukup menarik minat konsumen, dimana konsumen dapat memilih tarif terbaik sesuai dengan kemampuannya. Penerapan tarif taksi lama ini telah mendorong beberapa operator taksi seperti Taksi Express dan Taksi Putra mengambil porsi yang lebih besar di pasar industri taksi, khususnya di DKI Jakarta.
Sejak bulan Juni 2008, di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta, terbit aturan mengenai tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Di DKI Jakarta, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No.51/2008 tentang penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni 2008,  Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif batas atas. Dengan berlakunya SK Gubernur tersebut maka tarif taksi batas bawah untuk buka pintu adalah Rp 5.000, dengan tarif per kilometer (km) adalah Rp 2.500. Tarif tersebut lebih mahal dibandingkan tarif taksi lama yaitu Rp 4.000/buka pintu . Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda) selaku pelaku usaha dalam industri tersebut  .
Temuan KPPU
KPPU telah melakukan survey ke berbagai kota terkait dengan tarif taksi. Adapun temuan KPPU mengenai tarif taksi adalah sebagai berikut : 







Tabel 1. Mekanisme Penetapan Tarif Taksi di Berbagai Kota


Medan
DIY
Bandung
Semarang
Makassar
DKI Jakarta
Tarif Taksi
satu tarif
satu tarif
Batas atas dan batas bawah.Tidak ada tarif antara.
Batas atas, batas bawah. Tidak ada tarif antara.
satu tarif
Batas atas, batas bawah. Tidak ada tarif antara.
Ditetapkan Oleh
Pemda
Pemda
Pemda
Organda
Pemda
Tarif batas atas oleh Pemda, Batas Bawah oleh Organda
Sumber : Survey KPPU, 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa mekanisme penetapan tarif taksi di berbagai daerah berbeda-beda. Sebagian menerapkan satu tarif seperti di Medan, Yogyakarta dan Makassar, sedangkan sebagian yang lain menetapkan tarif batas atas dan bawah (DKI Jakarta dan Yogyakarta). Di Semarang, tarif batas atas dan bawah seluruhnya ditetapkan oleh Organda, sedangkan di DKI Jakarta tarif batas atas ditetapkan Pemda dan tarif batas bawah ditetapkan oleh Organda.
Dalam Keputusan Menteri 35 tahun 2003, pelayanan angkutan taksi merupakan pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan (Pasal 29). Sementara menurut Pasal 29 ayat (2), pelayanan angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri – ciri sebagai berikut :
a. tidak terjadwal
b. dilayani dengan mobil penumpang umum jenis sedan atau station wagon dan van yang memiliki konatruksi seperti sedan sesuai standar teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal
c.    tarif angkutan berdasarkan argometer
d. pelayanan dari pintu ke pintu
Kebijakan Penetapan Tarif Taksi dan Persaingan Usaha
Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan oleh pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek taksi, tarif  terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri dalam PP No. 41 Tahun 1993 (pasal 49).
Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan Pasal 49). Regulasi tersebut tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.
Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi.
Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar harga minimal sebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut. Akibatnya  masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.
Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya persaingan harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik berdasarkan mekanisme pasarbagi konsumen.
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan angkutan kota dan kebijakan penetapan tarif taksi maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Regulasi Bersifat Netral Terhadap Isu Persaingan Usaha
Secara keseluruhan Regulasi dalam Industri Angkutan Darat telah mengatur industri tersebut dengan cukup baik, dengan adanya mekanisme perizinan, evaluasi dan sanksi yang dipegang Pemerintah. Secara umum regulasi tersebut bersifat netral dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.
2. Kartel Dalam Penetapan Tarif Taksi Di Beberapa Daerah Di Indonesia
KPPU menemukan adanya penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha di DKI Jakarta dan Semarang. Penetapan tarif oleh kumpulan pelaku usaha merupakan bentuk kartel yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha akan menghilangkan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi harga dan hanya melindungi pelaku usaha dengan kualitas buruk untuk dapat bertahan dalam industri tersebut.
Mengingat beragamnya kebijakan pengaturan taksi di berbagai daerah, maka Pemerintah Pusat diharapkan segera mengambil kebijakan untuk menyeragamkan kebijakan tersebut, dengan memberikan penekanan pada kebijakan untuk :
1. Hanya menetapkan tarif batas atas dalam kebijakan tarif taksi, yang lebih ditujukan untuk melindungi konsumen dari eksploitasi operator taksi. Mencabut kebijakan tarif batas bawah yang akan berpotensi menghambat pelaku usaha yang bisa menawarkan tarif yang terjangkau oleh masyarakat.
2. Menetapkan standar minimal kualitas pelayanan taksi dengan penindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya. 
3. Melarang secara tegas Organda untuk menetapkan tarif, karena akan menciptakan kartel yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.
Pemberian saran dan pertimbangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kebijakan pengaturan tarif taksi di berbagai daerah agar tetap sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian, operator taksi sebagai pelaku usaha dan pengguna taksi sebagai konsumen akan sama-sama diuntungkan.






















·         Penduduk

Krisis Setahun, Mundur 20 Tahun

Penduduk miskin Indonesia menjadi 80 juta. Pendapatan per kapita yang sudah di atas US$ 1.000 turun menjadi US$ 250. Termasuk negara miskin di bawah Bangladesh.

Belum setahun krisis ekonomi berlangsung (sejak Juli tahun lalu), orang miskin Indonesia bertambah puluhan juta. Bila angka Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah rakyat miskin itu benar 80 juta, terpuruknya ekonomi selama setahun ini telah memundurkan Indonesia ke keadaan 20 tahun lalu.
Maka, dengan ekonomi yang semakin amburadul, antara lain inflasi tahun ini diperkirakan 80 persen, pertumbuhan minus 20 persen, Ketua BPS Suwito Sugito "mengumumkan" adanya peningkatan penduduk miskin secara drastis. Jika tahun 1997 lalu jumlah penduduk miskin hanya 22,5 juta atau 11,3 persen dari jumlah penduduk, sampai pertengahan tahun 1998 jumlah penduduk miskin sudah meningkat menjadi 79,4 juta atau 39,1 persen dari 202 juta penduduk Indonesia," ujar Suwito.
Malah Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi angka penduduk Indonesia yang miskin lebih besar dari data BPS. Menurut perhitungan Indef, jumlah orang Indonesia yang miskin meningkat sampai 118 juta sampai akhir tahun 1998 ini atau 60,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Menurut pakar ekonomi dari Indef, Didik J. Rachbini, perhitungan Indef yang lebih besar dari BPS itu karena indikator garis kemiskinan sudah bergeser jauh akibat krisis moneter dan ekonomi. Perhitungannya berdasarkan perkembangan indikator ekonomi di tingkat makro dan mikro, yang semakin merosot, baik dari laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, maupun indikator lain.
Menurut Didik lagi, salah satu penyebab kemiskinan ini adalah pengangguran terbuka yang telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. "Kalau pertumbuhan ekonomi minus 20 persen, berarti yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mencapai 9,6 juta orang. Ditambah dengan penganggur sebelumnya dan pencari kerja pertama, jumlah penganggur pada akhir tahun ini diperkirakan akan mendekati 20 juta orang," ujar Didik.
Bila dilihat berdasarkan lokasi, Ketua BPS Suwito memetakan, penduduk miskin terbesar berada di pedesaan, yaitu 45,6 persen. Akan halnya penduduk miskin di perkotaan mencapai 28,8 persen. "Selama 20 tahun lebih, sejak tahun 1976, BPS melakukan penelitian tentang penduduk miskin, baru kali ini terlihat persentasenya meningkat," kata Suwito.
Sebenarnya, tahun 1996 lalu, jumlah penduduk miskin di Indonesia turun 3,7 persen dibanding tahun 1993. Namun, sampai pertengahan tahun 1998 ini, kata Suwito, persentase penduduk miskin naik 19,1 persen dibandingkan tahun 1996. Menurut Suwito, BPS tidak mengubah kriteria garis kemiskinan, yaitu mereka yang tergolong miskin adalah yang tidak mampu memenuhi 2.100 kalori per kapita per tahun, ditambah minimum kebutuhan nonmakanan, agar ditemukan perbandingan jumlah. Tetapi, menurut Suwito, dari jumlah dana yang diperlukan untuk memenuhi kalori dan kebutuhan nonmakanan yang lain, BPS menetapkan Rp 52.470 per kapita per bulan untuk penduduk kota dan Rp 41.588 per kapita per bulan untuk penduduk desa. Sebelumnya, angkanya sekitar Rp 30.000, tetapi harus dinaikkan sesuai dengan perkembangan harga-harga yang membumbung tinggi.
Sebenarnya, sebelum terjadinya krisis, pertengahan tahun lalu, Indonesia dengan pendapatan per kapita US$ 1.088 sudah hampir menjadi negara industri baru dan negara kaya walaupun tidak seajaib Malaysia dan Korea Selatan. Namun, itu semua begitu saja bubar gara-gara rupiah dengan cepat melorot terus, bahkan kini tetap bertahan pada kisaran Rp 14.000 per satu dolar AS.
Dengan asumsi nilai dolar sebesar itu, tingkat inflasi yang bisa mencapai 80 persen tahun ini, dan pertumbuhan ekonomi negatif 20 persen, tentu saja pendapatan per kapita Indonesia sudah merosot, bahkan diperkirakan sudah merosot menjadi sekitar US$ 250 per kapita, kalah dari Bangladesh yang tahun 1995 sudah mencapai US$ 283, walaupun sedikit lebih tinggi dari Myanmar yang hanya US$ 200. Padahal, berdasarkan patokan dari PBB, negara yang pendapatan per kapitanya di bawah US$ 300 sudah masuk kategori negara miskin.
Menurut ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Arif Ramelan Karseno, tingginya prediksi pertambahan penduduk miskin itu boleh jadi karena indikator kemiskinan dilihat dari satuan unitnya. "Kalau berdasarkan rupiah, di pedesaan memang menjadi lebih banyak penduduk yang sangat miskin. Tapi, kan tanpa duit pun orang desa masih bisa bertahan hidup," kata Karseno.
Namun, Karseno mengakui kemiskinan tampak semakin membengkak di pedesaan juga dikarenakan pulangnya para migran ke desa, akibat krisis moneter dan ekonomi ini. "Untuk mengatasi bertambahnya penduduk miskin ini, dalam jangka pendek di perkotaan, pemerintah harus membuka banyak padat karya dan membuka seluas-luasnya usaha sektor informal," tutur pengajar di Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, itu. Menurut Karseno, sebenarnya, kebijakan Pemda DKI Jakarta yang mengizinkan kembali becak beroperasi adalah kebijakan yang baik untuk menanggulangi kemiskinan dalam jangka pendek di perkotaan. "Tetapi, kenapa kebijakan itu harus dicabut kembali?" ujar Karseno lagi.
Sektor informal yang bisa dikembangkan di kota, kata Karseno, adalah perdagangan kaki lima, yang seharusnya pada saat krisis ini tak lagi diberantas pemda. "Ini merupakan langkah yang efektif untuk menanggulangi kemiskinan di kota. Masyarakat miskin di perkotaan juga bisa mengembangkan usaha perdagangan barang bekas," demikian Karseno menambahkan.
Kemiskinan di pedesaan, saran Karseno, sebenarnya bisa ditanggulangi selain dengan proyek padat karya, juga dengan mengembalikan ekonomi tradisional dan juga sektor informal. UGM, misalnya, kini telah melakukan kerja sama dengan Departemen Koperasi untuk melakukan proyek percobaan mengembangkan koperasi alternatif melalui proyek kuliah kerja nyata. KUD yang selama ini secara kelembagaan mendapatkan cap jelek di kalangan petani akan dihadapkan dengan koperasi alternatif ini, sehingga bisa muncul situasi persaingan.
Akan halnya subsidi, tentu saja bisa diberikan untuk menyelamatkan panen, misalnya subsidi pembelian bibit, pupuk, dan pestisida. "Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Yogyakarta dalam waktu sebulan ini sudah menyelenggarakan kegiatan itu, dengan memanfaatkan sumbangan dana dari Jerman. Setiap kelompok tani diberi subsidi Rp 1,25 juta," ungkap Karseno. Subsidi dalam jangka pendek diakui Karseno memang bisa banyak menolong dan bisa memotivasi. Namun, dalam jangka panjang tentu saja akan menghadapi masalah, seperti mulai terbatasnya dana. Bila ini terjadi, tentu saja penduduk miskin akhirnya juga akan menghadapi bahaya kelaparan.
Maka, bila krisis ekonomi setahun saja telah memundurkan Indonesia ke keadaan 20 tahun lalu, bagaimana pula keadaannya kalau krisis itu berlangsung beberapa tahun lagi?
Muhammad Jusuf/Laporan R. Fadjri (Yogyakarta) 
( Majalah D&R, 11 Juli 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar