·
Transportasi
Integrasi Kebijakan Transportasi
Submitted by firdaus on
Thu, 14/05/2009 - 11:55
Kemacetan lalu lintas
di kota Jakarta semakin hari semakin sulit diurai. Kemacetan lalu lintas itu
selain mengakibatkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM) juga menambah polusi
udara di kota ini. Berbagai kebijakan transportasi pun telah dibuat, seperti
Three in One, busway dan pembangunan jalan layang. Namun berbagai kebijakan itu
belum mampu secara maksimal mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Kebijakan transportasi baru yang tengah digagas oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bidang transportasi salah satunya
adalah electronic road pricing (ERP) atau pajak jalan raya. Kebijakan ini
ditujukan untuk menggantikan kebijakan three in one yang dinilai tidak efektif
dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan
lalu lintas dan polusi udara di Jakarta.
Pada prinsipnya, ERP adalah upaya mengatur aliran kendaraan
dan kemacetan melalui mekanisme penarifan. Proyek ini nantinya akan mengacu
pada pelaksanaan ERP di Singapura yang diterapkan sejak 1998, menggantikan area
licensing scheme (ALS). Di negeri itu, ERP dibedakan sesuai dengan waktu, zona
berkendaraan, dan jenis kendaraan. Dana yang diperoleh dari penerapan sistem
ERP tersebut digunakan untuk mengembangkan transportasi publik (Infrastructure
Watch, 2005).
Melihat sudah begitu banyaknya kebijakan yang dikeluarkan
untuk mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta, timbul pertanyaan, akankah
proyek ERP berakhir dengan kegagalan seperti yang sebelumnya?
Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur
efektivitas proyek ERP ini. Pertama, pemilihan suatu kawasan untuk penerapan
proyek ini harus berdasarkan parameter jumlah volume lalu lintas di daerah
tersebut. Semakin tinggi jumlah volume kendaraan di suatu kawasan, akan menjadi
prioritas utama penerapan proyek ini. Dengan parameter tersebut, diharapkan
proyek ini mampu menurunkan secara signifikan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Hasil penelitian Clean Air Project (CAP) Swisscontact pada
2005 mengenai volume kendaraan dan polusi udara justru menyebutkan pada saat
jam kerja, volume kendaraan di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, paling tinggi
dibanding di kawasan lainnya, termasuk Jalan Thamrin (jalur Blok M-Kota).
Penelitian itu juga menyebutkan bahwa pada hari libur, volume lalu lintas di
Jalan Kyai Tapa tetap lebih tinggi dibandingkan dengan hari kerja. Jika Pemprov
DKI Jakarta hendak menerapkan kebijakan ERP maka, pemberlakuan kebijakannya
harus tepat di jalur yang padat lalu lintas.
Kedua, proyek ERP ini harus didahului atau minimal diikuti
dengan upaya pembenahan tata ruang Kota Jakarta secara menyeluruh. Penyebab
utama kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah makin jauhnya permukiman penduduk
dari pusat-pusat kegiatan, terutama tempat-tempat bekerja.
Peningkatan aktivitas ekonomi di Jakarta mengakibatkan harga
tanah melambung tinggi sehingga tidak terjangkau oleh warga kebanyakan.
Kebanyakan warga hanya dapat membeli rumah yang letaknya di pinggir kota, dan
untuk aktivitas sehari-hari, mereka memilih menggunakan kendaraan bermotor
pribadi. Hal itu jelas terkait dengan kebijakan tata ruang kota, bukan
semata-mata masalah transportasi.
Keberhasilan penerapan proyek ERP di Singapura tidak bisa
dicontek habis karena kondisi geografis, sosial, anatomi kemacetan lalu lintas,
dan tata ruang Kota Singapura berbeda dengan Jakarta. Berbeda dengan Singapura,
di Jakarta, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, yang terutama harus
dilakukan adalah membenahi tata ruang kota. Besarnya daya tarik Jakarta menjadi
faktor utama yang membangkitkan lalu lintas di kota ini. Harus ada intervensi
dalam kebijakan tata ruang Kota Jakarta untuk membagi daya tarik kota tersebut
dengan daerah lainnya.
Kota ini harus secara sukarela dan bertahap merelokasi
kawasan-kawasan komersial yang padat kendaraan ke luar Jakarta. Pembangunan
hypermarket serta mal-mal perlu dibatasi agar tidak memadati Jakarta dan
diusahakan penyebarannya ke luar kota. Bahkan Washington, DC, sebagai pusat
pemerintah Amerika Serikat dan Paris sebagai pusat pemerintah Prancis
mengharuskan mal-mal dibangun di luar kota. Kebijakan itu didasarkan pada
kenyataan bahwa pengunjung mal-mal adalah konsumen yang berkendaraan pribadi.
Dengan mengayunkan langkah menyebarkan daya tarik
pembangunan lebih adil dan lebih luas dalam membangun kawasan–ditopang oleh
sistem angkutan yang bersifat komprehensif mencakup berbagai moda darat,
sungai, laut, dan udara dengan mengacu pada perencanaan tata ruang yang
memperhitungkan pola pembangunan berkelanjutan dengan dimensi ekonomi, sosial,
dan ekologi–kebijakan transportasi baru bisa dipastikan akan berjalan efektif.
·
pariwisata
Artikel Pariwisata: Peran
Pemerintah dalam Pariwista
Oleh I
Nengah Subadra
Sebagai
industri perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari peran serta
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah
bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah
atau kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan
pendukung pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan
dan penegakan peraturan (regulation). Berikut ini adalah penjelasan mengenai
peran-peran pemerintah dalam bidang pariwisata tersebut di atas:
a.PerencanaanPariwisata
Pariwisata merupakan industri yang memiliki kriteria-kriteria khusus, mengakibatkan dampak positif dan negatif. Untuk memenuhi kriteria khusus tersebut, memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata diperlukan perencanaan pariwisata yang matang. Kesalahan dalam perencanaan akan mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan dan konflik kepentingan di antara para stakeholders. Masing-masing daerah tujuan wisata memiliki permasalahan yang berbeda dan memerlukan jalan keluar yang berbeda pula.
Pariwisata merupakan industri yang memiliki kriteria-kriteria khusus, mengakibatkan dampak positif dan negatif. Untuk memenuhi kriteria khusus tersebut, memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata diperlukan perencanaan pariwisata yang matang. Kesalahan dalam perencanaan akan mengakibatkan munculnya berbagai macam permasalahan dan konflik kepentingan di antara para stakeholders. Masing-masing daerah tujuan wisata memiliki permasalahan yang berbeda dan memerlukan jalan keluar yang berbeda pula.
Dalam
pariwisata, perencanaan bertujuan untuk mencapai cita-cita atau tujuan
pengembangan pariwisata. Secara garis besar perencanaan pariwisata mencakup
beberapa hal penting yaitu: (1) perencanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan
untuk memacu pertumbuhan berbagai jenis industri yang berkaitan dengan
pariwisata, (2) perencanaan penggunaan lahan, (3) perencanaan infrastruktur
yang berhubungan dengan jalan, bandar udara, dan keperluan lainnya seperti;
listrik, air, pembuangan sampah dan lain-lain, (4) perencanaan pelayanan sosial
yang berhubungan dengan penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan kesehatan,
pendidikan dan kesejastraan sosial, dan (5) perencanaan keamanan yang mencakup
keamanan internal untuk daerah tujuan wisata dan para wisatawan.
b.PembangunanPariwisata
Pembagunan pariwisata umumnya dilakukan oleh sektor swasta terutama pembangunan fasilitas dan jasa pariwisata. Namun, pengadaaan infrastruktur umum seperti jalan, listrik dan air yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata terutama untuk proyek-proyek yang berskala besar yang memerlukan dana yang sangat besar seperti pembangunan bandar udara, jalan untuk transportasi darat, proyek penyediaan air bersih, dan proyek pembuangan limbah merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu, pemerintah juga beperan sebagai penjamin dan pengawas para investor yang menanamkan modalnya dalam bidang pembangunan pariwisata.
Pembagunan pariwisata umumnya dilakukan oleh sektor swasta terutama pembangunan fasilitas dan jasa pariwisata. Namun, pengadaaan infrastruktur umum seperti jalan, listrik dan air yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata terutama untuk proyek-proyek yang berskala besar yang memerlukan dana yang sangat besar seperti pembangunan bandar udara, jalan untuk transportasi darat, proyek penyediaan air bersih, dan proyek pembuangan limbah merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu, pemerintah juga beperan sebagai penjamin dan pengawas para investor yang menanamkan modalnya dalam bidang pembangunan pariwisata.
c.KebijakanPariwisata
Kebijakan merupakan perencanaan jangka panjang yang mencakup tujuan pembangunan pariwisata dan cara atau prosedur pencapaian tujuan tersebut yang dibuat dalam pernyataan-pernyataan formal seperti hukum dan dokumen-dokumen resmi lainya. Kebijakan yang dibuat permerintah harus sepenuhnya dijadikan panduan dan ditaati oleh para stakeholders. Kebijakan-kebijakan yang harus dibuat dalam pariwisata adalah kebijakan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan hubungan politik terutama politik luar negeri bagi daerah tujuan wisata yang mengandalkan wisatawan manca negara.
Umumnya kebijakan pariwisata dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi secara keseluruhan yang kebijakannya mencakup struktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang harus dibuat sehubungan dengan pembangunan pariwisata adalah kebijakan mengenai ketenagakerjaan, penanaman modal dan keuangan, industri-industri penting untuk mendukung kegiatan pariwisata, dan perdagangan barang dan jasa.
Kebijakan merupakan perencanaan jangka panjang yang mencakup tujuan pembangunan pariwisata dan cara atau prosedur pencapaian tujuan tersebut yang dibuat dalam pernyataan-pernyataan formal seperti hukum dan dokumen-dokumen resmi lainya. Kebijakan yang dibuat permerintah harus sepenuhnya dijadikan panduan dan ditaati oleh para stakeholders. Kebijakan-kebijakan yang harus dibuat dalam pariwisata adalah kebijakan yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan hubungan politik terutama politik luar negeri bagi daerah tujuan wisata yang mengandalkan wisatawan manca negara.
Umumnya kebijakan pariwisata dimasukkan ke dalam kebijakan ekonomi secara keseluruhan yang kebijakannya mencakup struktur dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kebijakan ekonomi yang harus dibuat sehubungan dengan pembangunan pariwisata adalah kebijakan mengenai ketenagakerjaan, penanaman modal dan keuangan, industri-industri penting untuk mendukung kegiatan pariwisata, dan perdagangan barang dan jasa.
d.Peraturan
Pariwisata
Peraturan pemerintah memiliki peran yang sangat penting terutama dalam melindungi wisatawan dan memperkaya atau mempertinggi pengalaman perjalanannya. Peraturan-peraturan penting yang harus dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah: (1) peraturan perlindungan wisatawan terutama bagi biro perjalanan wisata yang mengharuskan wisatawan untuk membayar uang muka (deposit payment) sebagai jaminan pemesanan jasa seperti akomodasi, tour dan lain-lain; (2) peraturan keamanan kebakaran yang mencakup pengaturan mengenai jumlah minimal lampu yang ada di masing-masing lantai hotel dan alat-alat pendukung keselamatan lainnya; (3) peraturan keamanan makan dan kesehatan yang mengatur mengenai standar kesehatan makanan yang disuguhkan kepada wisatawan; (4) peraturan standar kompetensi pekerja-pekerja yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus seperti seperti pilot, sopir, dan nahkoda.
Peraturan pemerintah memiliki peran yang sangat penting terutama dalam melindungi wisatawan dan memperkaya atau mempertinggi pengalaman perjalanannya. Peraturan-peraturan penting yang harus dibuat oleh pemerintah untuk kepentingan tersebut adalah: (1) peraturan perlindungan wisatawan terutama bagi biro perjalanan wisata yang mengharuskan wisatawan untuk membayar uang muka (deposit payment) sebagai jaminan pemesanan jasa seperti akomodasi, tour dan lain-lain; (2) peraturan keamanan kebakaran yang mencakup pengaturan mengenai jumlah minimal lampu yang ada di masing-masing lantai hotel dan alat-alat pendukung keselamatan lainnya; (3) peraturan keamanan makan dan kesehatan yang mengatur mengenai standar kesehatan makanan yang disuguhkan kepada wisatawan; (4) peraturan standar kompetensi pekerja-pekerja yang membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus seperti seperti pilot, sopir, dan nahkoda.
Selain itu,
pemerintah juga bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam seperti;
flora dan fauna yang langka, air, tanah dan udara agar tidak terjadi pencemaran
yang dapat mengganggu bahkan merusak suatu ekosistem. Oleh karena itu,
penerapan semua peraturan pemerintah dan undang-undang yang berlaku mutlak
dilaksanakan oleh pemerintaah.
·
Tata kota
·
Kebijakan Pemda Pajak Progresif
Dimulai 2011
|
Ditulis oleh Koran Jakarta
|
Tuesday, 07 September 2010
|
JAKARTA-Terhitung
1 Januari 2011, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan pajak
progresif kendaraan bermotor bagi pemilik kendaraan pribadi dan badan hukum.
Tarif yang dibebankan untuk pajak
tersebut maksimal sebesar empat persen. Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI
Jakarta Iwan Setiawandi, Senin (6/9) menjelaskan besaran pajak itu adalah 1,5
persen untuk kendaraan pribadi pertama, 1,75 persen untuk kendaraan pribadi
kedua, 2,5 persen untuk kendaraan pribadi ketiga, dan 4 persen untuk
kendaraan pribadi keempat.
Angka tersebut, menurut Iwan, jauh lebih kecil dari aturan pajak progresif yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 28/ 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebesar 10 persen. Kebijakan ini menjadi salah satu instrumen untuk membatasi kepemilikan kendaraan pribadi. Karenanya, itu diwujudkan dengan beban tarif pajak yang tinggi,” ujarnya. Iwan berharap jika sudah diterapkan nanti, masyarakat yang bermaksud membeli kendaraan pribadi baru akan berpikir ulang karena nantinya harus membayar beban pajak yang tinggi. Kemudian, kalau kesadaran warga sudah tumbuh, diharapkan kemacetan lalu lintas sedikit demi sedikit bisa dipecahkan karena pertumbuhan kendaraan pribadi bisa diatasi. Lebih detail Iwan menjelaskan penetapan persentase tarif pajak progresif dilakukan salah satunya dengan melihat kemampuan ekonomi warga dan juga pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta secara keseluruhan. Dasar pijakan untuk menentukan persentase itu, di antaranya bersandar pada UU No 28 Tahun 2009. Dari situ, kemudian diputuskan persentase pajak tarifnya menjadi lebih kecil. Sementara itu, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Arief Susilo mengatakan secara teknis pihaknya sudah menyampaikan besaran potensi pajak progresif yang bisa dihasilkan ke DPRD DKI Jakarta. Dan yang membahagiakan, kata dia, besaran persentase tersebut kemudian disepakati oleh Dewan. Jadi, sekarang itu kami sedang menunggu pengesahan saja, tutur dia. Data yang dimiliki Komisi Kepolisian Indonesia sudah mencatat kalau jumlah penduduk DKI per Maret 2009 mencapai 8,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang terdaftar memiliki kendaraan bermotor pribadi hingga Juni 2009 berjumlah 9,99 juta kendaraan. Dari data tersebut, maka bisa disimpulkan bahw setiap keluarga memiliki kendaran bermotor pribadi sedikitnya 3 unit. ucm |
·
ekonomi
Kebijakan
Persaingan dalam Industri Taxi di Indonesia
|
|||||||||||||||||||||
Oleh: Noor Aisyah Amini*
Sektor perhubungan adalah sebuah sektor yang menjadi tulang
punggung bagi perkembangan ekonomi sebuah negara. Melalui sektor perhubungan
maka ekonomi bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu. Sistem perhubungan
(transportasi) yang baik akan mendorong tumbuhnya ekonomi yang efisien
dan berdaya saing. Sebaliknya sistem perhubungan yang buruk dari sebuah
negara juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi
di negara tersebut.
Taksi dan angkutan kota merupakan dua jenis angkutan darat
di Indonesia, yang perannya sangat melekat erat dalam keseharian masyarakat
perkotaan. Pada tahun 2007 saja, jumlah taksi dari 44 perusahaan yang
beroperasi di Jakarta mencapai 16.045 unit. Jumlah tersebut terus
meningkat seiring dengan bertambahnya taksi baru yang melayani masyarakat DKI
Jakarta saat ini.
Terkait dengan industri taksi di DKI Jakarta dan kota-kota
besar lain di Indonesia, pengaturan mengenai tarif taksi menjadi isu yang
menarik. Seiring dengan kenaikan biaya Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif taksi
sejak tahun 2005 mengalami perkembangan yang menarik yaitu lahirnya tarif
taksi lama. Tarif taksi lama adalah tarif taksi yang lebih rendah dibanding
tarif taksi normal yang ditetapkan Pemerintah. Penerapan tarif taksi lama
oleh sebagian operator taksi, rupanya cukup menarik minat konsumen, dimana konsumen
dapat memilih tarif terbaik sesuai dengan kemampuannya. Penerapan tarif taksi
lama ini telah mendorong beberapa operator taksi seperti Taksi Express dan
Taksi Putra mengambil porsi yang lebih besar di pasar industri taksi,
khususnya di DKI Jakarta.
Sejak bulan Juni 2008, di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta, terbit aturan mengenai tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Di DKI Jakarta, melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI
Jakarta No.51/2008 tentang penyesuaian tarif taksi yang berlaku per Juni
2008, Pemda DKI Jakarta mengatur bahwa tarif taksi dibatasi pada tarif
batas atas. Dengan berlakunya SK Gubernur tersebut maka tarif taksi batas
bawah untuk buka pintu adalah Rp 5.000, dengan tarif per kilometer (km)
adalah Rp 2.500. Tarif tersebut lebih mahal dibandingkan tarif taksi lama
yaitu Rp 4.000/buka pintu . Sedangkan tarif batas bawah ditetapkan oleh
Organisasi Angkutan Darat (Organda) selaku pelaku usaha dalam industri
tersebut .
Temuan KPPU
KPPU telah melakukan survey ke berbagai kota terkait
dengan tarif taksi. Adapun temuan KPPU mengenai tarif taksi adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Mekanisme Penetapan Tarif Taksi di Berbagai Kota
Sumber
: Survey KPPU, 2008
Tabel tersebut menunjukkan bahwa mekanisme penetapan tarif
taksi di berbagai daerah berbeda-beda. Sebagian menerapkan satu tarif seperti
di Medan, Yogyakarta dan Makassar, sedangkan sebagian yang lain menetapkan
tarif batas atas dan bawah (DKI Jakarta dan Yogyakarta). Di Semarang, tarif
batas atas dan bawah seluruhnya ditetapkan oleh Organda, sedangkan di DKI Jakarta
tarif batas atas ditetapkan Pemda dan tarif batas bawah ditetapkan oleh
Organda.
Dalam Keputusan Menteri 35 tahun 2003, pelayanan angkutan
taksi merupakan pelayanan angkutan dari pintu ke pintu dalam wilayah operasi
terbatas meliputi daerah kota atau perkotaan (Pasal 29). Sementara menurut
Pasal 29 ayat (2), pelayanan angkutan taksi diselenggarakan dengan ciri –
ciri sebagai berikut :
a. tidak terjadwal b. dilayani dengan mobil penumpang umum jenis sedan atau station wagon dan van yang memiliki konatruksi seperti sedan sesuai standar teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal c. tarif angkutan berdasarkan argometer d. pelayanan dari pintu ke pintu
Kebijakan Penetapan
Tarif Taksi dan Persaingan Usaha
Regulasi tarif angkutan darat nasional, mengatur bahwa
tarif untuk angkutan ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah, sedangkan tambahan
layanan yang diberikan (dalam kelas eksekutif) tarifnya ditetapkan oleh
pelaku usaha (PP No. 41 Tahun 1993). Tarif angkutan penumpang tidak dalam
trayek kecuali taksi ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan. Untuk trayek
taksi, tarif terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif jarak dan tarif
waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Tarif taksi ditetapkan oleh Menteri
dalam PP No. 41 Tahun 1993 (pasal 49).
Tarif tersebut terdiri dari tarif awal, tarif dasar tarif
jarak dan tarif waktu yang ditunjukkan dalam argometer. Penetapan tarif untuk
taksi ditetapkan oleh Menteri. (Pasal 48 dan Pasal 49). Regulasi tersebut
tidak relevan dengan fakta di lapangan, dimana tarif taksi ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah setempat untuk batas atas dan Organda untuk batas bawahnya.
Penerapan tarif batas atas oleh Pemerintah, selaras dengan
prinsip persaingan usaha yang sehat. Kebijakan tersebut dapat menghindarkan
konsumen dari eksploitasi yang mungkin dilakukan oleh produsen yang memiliki
posisi dominan dalam bentuk harga yang terlalu tinggi.
Meskipun prinsip persaingan usaha mentolerir adanya
penerapan batas atas oleh Pemerintah, tidak demikian halnya dengan penerapan
tarif batas bawah. Penerapan batas bawah akan melindungi operator yang tidak
efisien untuk tetap dapat berada dalam industri tersebut. Penerapan batas
bawah juga dapat merugikan konsumen karena konsumen terpaksa harus membayar
harga minimal sebesar tarif batas bawah, meskipun mungkin layanan yang
diberikan kurang dari itu. Selain itu penetapan tarif batas bawah akan
menyebabkan pelaku usaha yang bisa beroperasi dengan efisien dan bisa
melahirkan tarif yang besarannya berada di bawah tarif batas bawah, maka dia
terhambat untuk mengimplementasikan keunggulan bersaingnya tersebut.
Akibatnya masyarakat kehilangan pilihan tarif murah, secara jangka
panjang hal ini akan menimbulkan inefisiensi yang sangat besar.
Sementara itu, terkait dengan penetapan tarif yang
dilakukan asosiasi pelaku usaha baik tarif batas atas maupun tarif batas
bawah, maka hal tersebut merupakan bentuk nyata dari kartel yang dipastikan
melanggar UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Penetapan tarif oleh pelaku usaha menghilangkan terjadinya
persaingan harga diantara mereka sehingga tidak dapat diperoleh harga terbaik
berdasarkan mekanisme pasarbagi konsumen.
Berdasarkan analisis terhadap permasalahan angkutan kota
dan kebijakan penetapan tarif taksi maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Regulasi Bersifat Netral Terhadap Isu Persaingan
Usaha
Secara keseluruhan Regulasi dalam Industri Angkutan Darat telah mengatur industri tersebut dengan cukup baik, dengan adanya mekanisme perizinan, evaluasi dan sanksi yang dipegang Pemerintah. Secara umum regulasi tersebut bersifat netral dan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999. 2. Kartel Dalam Penetapan Tarif Taksi Di Beberapa Daerah Di Indonesia KPPU menemukan adanya penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha di DKI Jakarta dan Semarang. Penetapan tarif oleh kumpulan pelaku usaha merupakan bentuk kartel yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha akan menghilangkan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi harga dan hanya melindungi pelaku usaha dengan kualitas buruk untuk dapat bertahan dalam industri tersebut.
Mengingat beragamnya kebijakan pengaturan taksi di
berbagai daerah, maka Pemerintah Pusat diharapkan segera mengambil kebijakan
untuk menyeragamkan kebijakan tersebut, dengan memberikan penekanan pada
kebijakan untuk :
1. Hanya menetapkan tarif batas atas dalam kebijakan
tarif taksi, yang lebih ditujukan untuk melindungi konsumen dari eksploitasi
operator taksi. Mencabut kebijakan tarif batas bawah yang akan berpotensi
menghambat pelaku usaha yang bisa menawarkan tarif yang terjangkau oleh
masyarakat.
2. Menetapkan standar minimal kualitas pelayanan taksi dengan penindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya. 3. Melarang secara tegas Organda untuk menetapkan tarif, karena akan menciptakan kartel yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.
Pemberian saran dan pertimbangan tersebut dimaksudkan
untuk menjaga kebijakan pengaturan tarif taksi di berbagai daerah agar tetap
sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan demikian, operator
taksi sebagai pelaku usaha dan pengguna taksi sebagai konsumen akan sama-sama
diuntungkan.
|
·
Penduduk
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar